skip to main |
skip to sidebar
Iqro untuk masa lalu yang dicintai dan untuk pendidikan yang bernilai tinggi
Tugu 17 Mei di Niih, Kandangan, Kalimantan Selatan
0 komentar Diposting oleh Marfuah di 4/11/2013 06:55:00 AM
MERDEKA:
Dengan ini kami
rakyat Indonesia di Kal Sel, mempermaklumkan berdirinya Pem. Gub. Tentara dan
A. L. R. I melingkungi seluruh daerah Kal-Sel. Mendjadi bagian dari Republik
Indonesia memenuhi proklamasi 17-8-45 jg ditanda tangani oleh Pres. Soekarno
dan Wk. Pres. Mohd Hatta.
Hal-hal jg bersangkutan
dg pemindahan kekuasaan dan dipertahankan
dan kalau perlu diperjuangkan sampai tetesan darah jg penghabisan.
Tetap Merdeka!
Kandangan,17 Mei IV REP.
Atas nama rakyat Indonesia
di Kal Sel
Gubernur Tentara
d.t.t
HASSAN BASRY
Label: Sejarah Lokal Borneo
Implikasi dari Sistem Pendidikan Islam di Nusantara Terhadap Perkembangan Semangat Kebangsaan di Nusantara
0 komentar Diposting oleh Marfuah di 4/11/2013 06:43:00 AM
Pada awal abad ke-20, pesantren dengan
karakter sebagai lembaga pendidikan tradisional-antara lain dengan beerapa ciri
seperti kharisma pimpinannya (kiai) demikian kuat, dan fokusnya kepada
pengajian kitab kuning-pesantren selanjutnya muncul sebagai basis penyebaran
sistem madrasah di Indonesia. Pada masa-masa berikutnya, setelah mengalami
perjumpaan budaya dengan sistem pendidikan modern yang muncul bersamaan dengan
gerakan reformasi Islam di Indonesia-sebagaimana telah diperhatikan-pesantren
mengalami banyak perubahan. Meskipun sebagian besar pesantren masih
mempertahankan cirinya sebagai lembaga tafaqquh
fi al-din sebagai identitasnya.
Semakin disadari bahwa pendidikan merupakan aspek penting lain dari
reformisme Islam. Sekolah kenyataannya muncul sebagai wujud reformisme Islam.
Kaum Muslim reformis aktif mendirikan lembaga-lembaga pendidikan modern, di
samping mewacanakan gagasan-gagasan reformis. Begitu pula, sekolah dirancang
untuk memberikan pendidikan modern kepada umat Muslim, sebagai tanggapan terhadap
sistem tradisional pembelajaran yang
dinilai “tidak ada aturan”.
Sumatera Barat muncul sebagai wilayah pertama di Hindia Belanda yang
menjadi tempat bagi sekolah-sekolah modern. Pada tahun 1909, Haji Abdullah
Ahmad (1878-1933) mendirikan “Adabiyah School”. Adabiyah School menerapkan
sistem kelas, mengombinasikan mata pelajaran agama dan umum, dan menggnakan
merode dan proses belajar mengajar yang diadopsi dari sekolah Belanda. Walaupun
pada akhirnya berubah menjadi HIS Adabiyah dan hanya bertahan selama 6 tahun,
akan tetapi sekolah ini sudah mampu muncul sebagai permulaan sekolah Islam yang
modern.
Selain Adabiyah School, adapula Madras School (1910) oleh Syekh M. umar
Thaib di daerah Batusangkar, Diniyah School oleh Zainuddin labai al-Yunusi di
Padang Panjang, dan lainnya. Di Jawa eksperimen pendidikan Islam juga
berlangsung yang diprakarsa oleh organisasi yang berbasis agama seperti
Jamiatul Khair, Muhammadiyah, Persis, dan Nahdlatl Ulama. Karena basis
organisasi yang berbeda pula, maka lembaga pendidikan Islam Indonesia memiliki
tingkat keragaman yang sangat besar, terutama dari segi trans misi dan lingkup
ilmu-ilmu keislaman.
Berbeda dengan pesantren yang berfungsi
sebagai pusat pencetak ulama, , sekolah memusatkan perhatian pada penciptaan
Muslim terpelajar. Pada awal abad ke-20, Muslim terpelajar memang muncul
sebagai sebuah tipe kepemimpinan baru yang dibutuhkan masyarakat Muslim di
Hindia Belanda yang mampu menguasai pengetahuan Islam maupun sekuler. Bagi para
tokoh reformis, seperti Mukti Ali dari Muhammadiyah, Muslim terpelajarlah-bukan
ulama kolot- yang harus memimpin umat Muslim menuju alam kemajuan. Seperti
halnya sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dirancang untuk tujuan berbicara atas
nama Islam di tengah-tengah elite Hindia Belanda didikan Barat.
Oleh karena itu, kemunculan sekolah Islam
modern menunjukkan serangan serius terhadap otoritas ulama pesantren. Tidak
hanya dengan metode dan bahan pengajaran baru yang mulai diperkenalkan ke
sekolah, tetapi juga dengan menciptakan elite agama baru selain ulama
tradisional. Dalam hal ini, para pendiri sekolah berperan dalam menciptakan
masyarakat Muslim baru, dengan sistem pendidikan serta keyakinan dan praktik
keagamaan yang berbeda dengan ulama pesantren.
Sehingga sistem pendidikan Islam di Nusantara
turut berperan di dalam perkembangan semangat kebangsaan di Nusantara dengan
mencetak Muslim yang terpelajar. Atau dapat dikatakan sebagai pencetak
intelektual-intelektual Muslim yang kemudian berperan didalam semangat
kebangsaan di Nusantara.
Sumber:
Agung, Leo & T. Suparman. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Burhanudin, Jajat.
2012. Ulama & Kekuasaan, Pergumulan
Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan Publika
Ricklefs, M. C.. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta.
Rifa’i, Muhammad.
2011. Sejarah Pendidikan Nasional dari
Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Subhan, Arief. 2012. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20, Pergumulan Antara Modernisasi dan
Identitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Droup.
Label: Tulisan tentang PENDIDIKAN
Kontribusi Sistem Pendidikan dari Masa Klasik Sampai dengan Masa Pendudukan Jepang Terhadap Sistem Pendidikan di Indonesia Pada Masa Sekarang
1 komentar Diposting oleh Marfuah di 4/11/2013 06:42:00 AM
Sistem pendidikan di Indonesia yang
kita kenal sekarang ini bukanlah sistem yang dirumuskan dalam waktu satu malam
saja. Melainkan sistem yang melalui proses yang sangat panjang bersamaan dengan
adanya pendidikan itu sendiri di Nusantara.
Kontribusi Sistem Pendidikan Pada Masa Klasik
Pada pendidikan masa klasik
yaitu semenjak adanya komunitas pendidikan dalam skala kecil, dengan identitas
tradisi dan kepercayaan rakyat setempat–misalnya pesantren dan padepokan-sampai
dengan sebelum terjadinya penjajahan oleh bangsa luar negeri terhadap bangsa
Indonesia. Bangsa kita memiliki tradisi pendidikan yang dikelola oleh
masyarakat atau komunitas yang dipengaruhi oleh adat istiadat, tradisi, budaya,
agama, dan kepercayaannya masing-masing. Zaman kerajaan Hindu telah memunculkan
banyak padepokan dengan resi, begawan, dan empu sebagai tokoh pendidikannya dan
yang juga dikuatkan oleh karya-karyanya. Padepokan yang didirikan.
Di padepokan tersebut, siswa selain diajarkan ilmu
pengetahuan yang bersifat umum, juga diajarkan pula ilmu-ilmu yang bersifat spiritual religius.
Selain itu, mereka harus bekerja memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap padepokan memiliki kekhususan ilmu yang diajarkan, ada
padepokan khusus untuk ilmu kanuragaan atau bela diri, padepokan untuk
kesusastraan, padepokan khusus ilmu pemerintahan, atau juga mencakup semuanya. Hingga sekarang
pun masih dapat dijumpai beberapa padepokan yang berbasiskan pada kekhususan
tersebut. Padepokan merupakan salah satu lembaga pendidikan pada masa Hindu
sebagai salah satu warisan pada masanya dan masih lestari hingga sekarang.
Zaman kerajaan Islam juga
memunculkan banyak pesantren yang konsepnya hampir mirip dengan padepokan pada
masa sebelumnya, dengan wali, kiai, dan ustadz, sebagai tokoh pendidikannya dan
yang juga dikuatkan oleh karya-karyanya. Pesantren dapat dijumpai di berbagai wilayah Indonesia, akan tetapi dengan
sebutan yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang sejarah lokal
masing-masing daerah. Seperti di Sumatera Barat, pesantren disebut dengan
“surau” sementara di Aceh disebut dengan “meunasah”dan “dayah”. Sebutan
pesantren atau pondok pesantren pada mulanya hanya berlaku di Jawa, meskipun
kini sudah dikenal umum. Intinya pesantren adalah tempat belajar bagi para
santri. Pesantren juga disebut “pondok” atau “pondok pesantren”. Singkatnya,
kedua sebutan tersebut mengandung arti lembaga pendidikan Islam yang di
dalamnya terdapat unsur-unsur “kiai” (pemilik sekaligus guru), “santri”
(murid), “masjid” atau “mushalla” (tempat belajar), “asrama” (penginapan
santri), dan kitab-kitab Islam (bahan pelajaran).
Selanjutnya “pesantren” lebih
dikenal karena lembaga ini memiliki kemampuan bertahan dan mengembangkan diri
lebih besar dibandingkan lembaga-lembaga serupa di tempat lain. Sampai sekarang
model pendidikan pesantren masih bertahan di tengah-tengah modernisasi
pendidikan yang telah ada. Pesantren memiliki kontribusi pada sistem pendidikan
sekarang sebagai salah satu dari lembaga-lembaga pendidikan yang telah ada di
Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, kini banyak pesantren yang menyediakan
menu pendidikan umum dalam pesantren. Kemudian muncul istilah pesantren salafi
(pesantren murni, hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja) dan pesantren modern
(selain mengajarkan ilmu agama Islam juga mengajarkan ilmu umum dengan
menggunakan kurikulum).
Kontribusi Sistem Pendidikan Pada Zaman Penjajah hingga Masa
Pendudukan Jepang
Bangsa Barat masuk ke wilayah
Indonesia pada abad ke-16. Kedatangan Bangsa Barat ini, Portugis khususnya
membawa misi agama. Untuk tujuan menyebarkan agama inilah kemudian mereka
mendirikan sekolah. Mengajarkan rakyat pribumi untuk menjadi pekerja agama.
Selain mengajarkan tentang agama, rakyat pribumi juga membaca, menulis, dan
berhitung. Bangsa Belanda yang beragama
Kristen Protestan sambil berdagang juga menyebarkan agamanya. Konteks
penyebaran agama itu menjadi permulaan kebijakan pendidikan kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda baik sebelum maupun sesudah Politik
Etis terdapat beberapa tingkatan dan jenis pendidikan, antara lain: 1)
pendidikan rendah (lagere onderwijs); 2) pendidikan menengah (middlebaar
onderwijs) seperti MULO dan AMS; 3) pendidikan tinggi seperti Sekolah
Dokter Jawa (STOVIA), Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS), Sekolah Tinggi Hukum
(RHS), dan Sekolah Tinggi Teknik (THS); 4) sekolah-sekolah kejuruan; dan 5)
sekolah guru. Meskipun dengan adanya Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda sudah
mulai memperbaiki pendidikan bagi rakyat bumiputra, akan tetapi kebijakan
pendidikan tersebut masih bersifat diskriminatif.
Pada masa penjajah baik pada
masa Portugis hingga Belanda, para penjajah tersebut memperkenalkan sistem
pendidikan yang berbeda dari yang sebelumnya. Terutama pada masa kolonial
Belanda yang mencolok yaitu tingkatan dan jenis pendidikannya yang hingga
sekarang diadopsi sebagai lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang,
meskipun pendidikan pada masa tersebut lebih berorientasi kepada perang
pasifik, akan tetapi dualisme dalam pendidikan dihapuskan. Pada masa kolonial
Belanda sebelumnya dikenal dualisme dalam pendidikan yang artiannya menekankan
perbedaan yang tajam anatara pendidikan Belanda dan pendidikan Pribumi.
Meskipun pendidikan pada masa pendudukan Jepang sangat memprihatinkan, akan
tetapi Bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa resmi dalam pendidikan
tersebut.
Selain tingkatan dan jenis
pendidikan yang diadopsi baik secara kultural dan akibat dari penjajahan,
terdapat pula keberadaan Departemen Agama. Dimana keberadaannya dapat dilihat
sebagai kelanjutan dan perubahan dari kontruksi kolonial tentang urusan
keagamaan yang diletakkan dalam konteks negara.
Ditinjau dari sejarah pendidikan
di Indonesia dari masa klasik hingga masa penjajahan, maka Indonesia memiliki
beragam lembaga pendidikan baik secara kultural dan hasil adopsi pada masa
penjajahan. Sehingga Indonesia memiliki kekhasan tersendiri dengan kuatnya lembaga
pendidikan keagamaan. Sehingga di Indonesia terdapat dua buah mainstream
sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan umum yang dipayungi oleh Departemen
Pendidikan Nasional dan sistem pendidikan keagamaan yang dipayungi oleh
Departemen Agama. Keduanya sama-sama mengelola dan memayungi mulai dari
tingkatan dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Sumber:
Agung, Leo & T. Suparman. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Rifa’i, Muhammad.
2011. Sejarah Pendidikan Nasional dari
Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Subhan, Arief. 2012. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20, Pergumulan Antara Modernisasi dan Identitas.
Jakarta: Kencana Prenada Media Droup.
Label: Tulisan tentang PENDIDIKAN
Apakah Sudah Tepat “Hari Pendidikan Nasional” Diperingati Pada Tanggal 2 Mei?
0 komentar Diposting oleh Marfuah di 4/10/2013 06:42:00 AM
Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional
yang Bukan Hari Libur tertanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan hari-hari
nasional bersejarah bagi bangsa Indonesia. Salah satunya ialah dengan
ditetapkannya Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei. Meskipun ditetapkan
pada tahun 1959, secara efektif peringatan hari pendidikan nasional baru
dilaksanakan tahun 1967 setelah Pak Harto menjabat presiden. Saat itulah
pengakuan atas jasa besar Ki Hadjar Dewantara dalam meletakkan dasar-dasar
sistem pendidikan nasional dinyatakan oleh Pak Harto.
Meskipun
dalam keputusan presiden tersebut tidak secara tegas menyebutkan dasar-dasar
penetepannya, akan tetapi secara tersirat yang dimaksud dengan tanggal 2 Mei
ialah hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara. Dapat
dipastikan bahwa ada suatu alasan mengapa tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara ditetapkan
sebagai Hari Pendidikan Nasional. Alasan tersebut tentu berkaitan dengan jasa-jasa
Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
Raden
Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara
Raden
Mas Soewardi Soerjaningrat (Suwardi Suryaningrat), sejak 1922 berganti nama menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Pergantian nama ini adalah peralihan atau penyempurnaan watak dari satria pinandhita atau kesatria yang berjiwa pendeta ke pandhita sinatria atau pendeta yang bersedia mengangkat senjata untuk membela rakyatnya. Dengan demikian, ditinggalkannya pula gelar kebangsawanannya, yang dirasa akan menjadi penghalang untuk berdekatan dengan “wong cilik”.
Beliau lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959. Kancah perjuangan Ki Hadjar Dewantara meliputi dunia politik, jurnalistik, dan pendidikan. Pada dunia politik dan jurnalistik, Beliau lebih dikenal sebagai R.M. Suwardi Suryaningrat.
Beliau lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959. Kancah perjuangan Ki Hadjar Dewantara meliputi dunia politik, jurnalistik, dan pendidikan. Pada dunia politik dan jurnalistik, Beliau lebih dikenal sebagai R.M. Suwardi Suryaningrat.
Pada
tanggal 25 Desember 1912, berdirilah Indische Partij sebagai organisasi
pendukung gagasan revolusioner nasional. “Partai Hindia” ini didirikan oleh
Douwes Dekker (Danudirdjo Setyabudhi) serta diperlengkap dengan bergabungnya
dua orang Jawa yaitu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan R. M. Suwardi Suryaningrat,
atau yang lebih dikenal sebagai Tiga Serangkai.
Salah
satu tulisan R.M. Suwardi Suryaningrat yang paling terkenal yang dimuat dalam
surat kabar De Express dibawah pimpinan DD, 13 Juli 1913. Tulisannya
yang berupa risalah yang berjudul "Seandainya
Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"),yang
isinya merupakan sindiran tajam atas ketidak-adilan di daerah jajahan. Karena keanggotaannya dalam Indische
Partij dan aktivitasnya yang menetang
usaha-usaha perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas jajahan Perancis dengan
tulisannya tersebut, maka ia diasingkan ke negeri Belanda bersama Dr. Tjipto
Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker (Danudirdjo Setyabudhi) pada tahun 1913.
Dalam pengasingan
pada tahun 1913-1919 tersebut, Beliau aktif dalam organisasi para pelajar asal
Indonesia yaitu Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di sinilah
Beliau merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi
dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah
pendidikan yang bergengsi. Dalam studinya ini, Beliau terpikat pada ide-ide
sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori. Beliau juga mengadakan orientasi tentang Santi Ni Setan ciptaan Tagore di India sebagai pergerakan
pendidikan India. Pengaruh-pengaruh tersebut juga mendasari Beliau dalam
mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Sepulang
dari pengangsingan, Beliau bergabung dengan suatu kelompok mistik Jawa di
Yogyakarta yaitu “Gerombolan Selasa Kliwon”. Gerombolan itu terdiri dari R.M. Suwardi Suryaningrat,,
R.M. Sutatmo Surjokusumo, R.M.H. Soorjo Poetro dan Ki Pronowidigdo, yang
dibawah pimpinan Pangeran Surjomataram mempelajari soal-soal kebatinan. Kelompok
mistik ini menganggap perlu diciptakannya suau sistem pendidikan yang
benar-benar bersifat pribumi (yakni yang nonpemerintah dan non-Islam). Oleh karena itu, pada tahun 1922, Suwardi, yang kini memakai nama baru Ki
Hadjar Dewantara,
mendirikan sekolah Taman Siswa yang pertama di Yogyakarta, yang memadukan
pendidikan gaya Eropa yang modern dengan seni-seni Jawa tradisional. Setelah
Taman Siswa berdiri, maka mereka membubarkan diri, karena berpendapat dengan
lahirnya Taman Siswa itu terwujudlah sudah cita-cita mereka.
Bapak Pendidikan Nasional
Perjuangan Ki Hadjar Dewantara
sebagai perintis pendidikan nasional diwujudkan dalam bentuk pendirian
Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Mewujudkan sebuah lembaga
nasional pada saat masih dalam cengkraman kekuasaan kolonial bukan saja
tindakan sangat berani tetapi juga penuh resiko.
Memang, sebelum Ki Hadjar
Dewantara mendirikan Tamansiswa sudah ada usaha mencerdaskan anak-anak bangsa
melalui pendidikan. Sebut saja RA Kartini, Wahidin Sudiro Husodo, Moch Syafei,
KH Hasyim Ashari, KH Ahmad Dahlan, tokoh-tokoh pendidikan kristen, katolik dan
pesantren adalah beberapa di antaranya. Tetapi yang menyebut nama dan dasar
serta sistem nasional dan kemudian mewujudkan dan melaksanakan, belum ada.
Datanglah suatu masa kesadaran
pendidikan nasional. Ketika kalangan menengah ke atas pribumi gagal
menyekolahkan anak-anaknya karena Departemen Pengajaran (kolonial) tidak mampu
menyediakan sekolah untuk mereka, maka didirikanlah sekolah swasta. Sekolah
tersebut sistem dan isi pengajarannya tidak berbeda dengan sekolah pemerintah
(kolonial). Tujuannya tiada lain agar anak-anak mereka fasih berbahasa Belanda
untuk mendapatkan jabatan dan gaji yang baik di kemudian hari. Saat itu tidaklah
terpikirkan meningkatkan kebudayaandan kepribadian bangsa sendiri. Itulah yang
menjadi dasar pertimbangan utama Ki Hadjar Dewantara untuk mewujudkan sebuah
sistem pendidikan nasional yang tidak untuk kepentingan kolonialisme. Tujuan
utamanya ialah menanamkan jiwa merdeka bagi anak-anak bangsa pribumi. Dengan
tiada menolak apa yang asing yang berguna untuk memperkaya jiwa bangsanya,
ditumpukan pendidikan pada usaha membangun jati diri bangsa.
Atas jasa-jasanya dalam merintis
pendidikan umum, Beliau pun dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia[ dan hari kelahirannya
dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Jadi, apakah sudah tepat Hardiknas
diperingati pada tanggal 2 Mei? Saya rasa tepat, jika mengingat seberapa besar
kontribusi Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan nasional di Indonesia.
Sumber:
Agung,
Leo & T. Suparman. 2012. Sejarah
Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Anonim. 2013. Ki Hadjar Dewantara. Diakses pada 3 April 2013 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara.
Anonim. 2012. Pahlawan. Diakses pada 6 April 2013 dari http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=Pahlawan&opsi=mulai-1.
Ki Sugeng Subagya. “Pa Harto dan
Hari Pendidikan Nasional”. Germari, No. 90/IX/2008.
Poesponegoro,
Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah
Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C.. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta.
Label: Tulisan tentang PENDIDIKAN
Siapa AKU?
- Marfuah
- Siapa AKU? Ku juga tak tahu...Mereka bilang aku mewarisi gen Kakek ku di darahku.Ku ingin lihat sebarapa banyak ku mewarisinya. Aku ingin ketika namanya disebut, maka namaku dengan bangga di sebut juga...
Tulisanku
Wikipedia
Hasil penelusuran