PROKLAMASI

MERDEKA:

         Dengan ini kami rakyat Indonesia di Kal Sel, mempermaklumkan berdirinya Pem. Gub. Tentara dan A. L. R. I melingkungi seluruh daerah Kal-Sel. Mendjadi bagian dari Republik Indonesia memenuhi proklamasi 17-8-45 jg ditanda tangani oleh Pres. Soekarno dan Wk. Pres. Mohd Hatta.
          Hal-hal jg bersangkutan dg pemindahan kekuasaan dan dipertahankan  dan kalau perlu diperjuangkan sampai tetesan darah jg penghabisan.


                                     Tetap Merdeka!
                                  Kandangan,17 Mei IV REP.





                                     Atas nama rakyat Indonesia
                              di Kal Sel
                              Gubernur Tentara
                                 d.t.t
                                   HASSAN BASRY


Pada awal abad ke-20, pesantren dengan karakter sebagai lembaga pendidikan tradisional-antara lain dengan beerapa ciri seperti kharisma pimpinannya (kiai) demikian kuat, dan fokusnya kepada pengajian kitab kuning-pesantren selanjutnya muncul sebagai basis penyebaran sistem madrasah di Indonesia. Pada masa-masa berikutnya, setelah mengalami perjumpaan budaya dengan sistem pendidikan modern yang muncul bersamaan dengan gerakan reformasi Islam di Indonesia-sebagaimana telah diperhatikan-pesantren mengalami banyak perubahan. Meskipun sebagian besar pesantren masih mempertahankan cirinya sebagai lembaga tafaqquh fi al-din sebagai identitasnya.
Semakin disadari bahwa pendidikan merupakan aspek penting lain dari reformisme Islam. Sekolah kenyataannya muncul sebagai wujud reformisme Islam. Kaum Muslim reformis aktif mendirikan lembaga-lembaga pendidikan modern, di samping mewacanakan gagasan-gagasan reformis. Begitu pula, sekolah dirancang untuk memberikan pendidikan modern kepada umat Muslim, sebagai tanggapan terhadap sistem tradisional pembelajaran yang  dinilai “tidak ada aturan”.
Sumatera Barat muncul sebagai wilayah pertama di Hindia Belanda yang menjadi tempat bagi sekolah-sekolah modern. Pada tahun 1909, Haji Abdullah Ahmad (1878-1933) mendirikan “Adabiyah School”. Adabiyah School menerapkan sistem kelas, mengombinasikan mata pelajaran agama dan umum, dan menggnakan merode dan proses belajar mengajar yang diadopsi dari sekolah Belanda. Walaupun pada akhirnya berubah menjadi HIS Adabiyah dan hanya bertahan selama 6 tahun, akan tetapi sekolah ini sudah mampu muncul sebagai permulaan sekolah Islam yang modern.
Selain Adabiyah School, adapula Madras School (1910) oleh Syekh M. umar Thaib di daerah Batusangkar, Diniyah School oleh Zainuddin labai al-Yunusi di Padang Panjang, dan lainnya. Di Jawa eksperimen pendidikan Islam juga berlangsung yang diprakarsa oleh organisasi yang berbasis agama seperti Jamiatul Khair, Muhammadiyah, Persis, dan Nahdlatl Ulama. Karena basis organisasi yang berbeda pula, maka lembaga pendidikan Islam Indonesia memiliki tingkat keragaman yang sangat besar, terutama dari segi trans misi dan lingkup ilmu-ilmu keislaman.
Berbeda dengan pesantren yang berfungsi sebagai pusat pencetak ulama, , sekolah memusatkan perhatian pada penciptaan Muslim terpelajar. Pada awal abad ke-20, Muslim terpelajar memang muncul sebagai sebuah tipe kepemimpinan baru yang dibutuhkan masyarakat Muslim di Hindia Belanda yang mampu menguasai pengetahuan Islam maupun sekuler. Bagi para tokoh reformis, seperti Mukti Ali dari Muhammadiyah, Muslim terpelajarlah-bukan ulama kolot- yang harus memimpin umat Muslim menuju alam kemajuan. Seperti halnya sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dirancang untuk tujuan berbicara atas nama Islam di tengah-tengah elite Hindia Belanda didikan Barat.
Oleh karena itu, kemunculan sekolah Islam modern menunjukkan serangan serius terhadap otoritas ulama pesantren. Tidak hanya dengan metode dan bahan pengajaran baru yang mulai diperkenalkan ke sekolah, tetapi juga dengan menciptakan elite agama baru selain ulama tradisional. Dalam hal ini, para pendiri sekolah berperan dalam menciptakan masyarakat Muslim baru, dengan sistem pendidikan serta keyakinan dan praktik keagamaan yang berbeda dengan ulama pesantren.
Sehingga sistem pendidikan Islam di Nusantara turut berperan di dalam perkembangan semangat kebangsaan di Nusantara dengan mencetak Muslim yang terpelajar. Atau dapat dikatakan sebagai pencetak intelektual-intelektual Muslim yang kemudian berperan didalam semangat kebangsaan di Nusantara.

Sumber:
Agung, Leo & T. Suparman. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama & Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan Publika
Ricklefs, M. C.. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Rifa’i, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Subhan, Arief. 2012. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20, Pergumulan Antara Modernisasi dan Identitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Droup.


Sistem pendidikan di Indonesia yang kita kenal sekarang ini bukanlah sistem yang dirumuskan dalam waktu satu malam saja. Melainkan sistem yang melalui proses yang sangat panjang bersamaan dengan adanya pendidikan itu sendiri di Nusantara.

Kontribusi Sistem Pendidikan Pada Masa Klasik

Pada pendidikan masa klasik yaitu semenjak adanya komunitas pendidikan dalam skala kecil, dengan identitas tradisi dan kepercayaan rakyat setempat–misalnya pesantren dan padepokan-sampai dengan sebelum terjadinya penjajahan oleh bangsa luar negeri terhadap bangsa Indonesia. Bangsa kita memiliki tradisi pendidikan yang dikelola oleh masyarakat atau komunitas yang dipengaruhi oleh adat istiadat, tradisi, budaya, agama, dan kepercayaannya masing-masing. Zaman kerajaan Hindu telah memunculkan banyak padepokan dengan resi, begawan, dan empu sebagai tokoh pendidikannya dan yang juga dikuatkan oleh karya-karyanya. Padepokan yang didirikan.
Di padepokan tersebut, siswa selain diajarkan ilmu pengetahuan yang bersifat umum, juga diajarkan pula ilmu-ilmu yang bersifat spiritual religius. Selain itu, mereka harus bekerja memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap padepokan memiliki kekhususan ilmu yang diajarkan, ada padepokan khusus untuk ilmu kanuragaan atau bela diri, padepokan untuk kesusastraan, padepokan khusus ilmu pemerintahan, atau juga mencakup semuanya. Hingga sekarang pun masih dapat dijumpai beberapa padepokan yang berbasiskan pada kekhususan tersebut. Padepokan merupakan salah satu lembaga pendidikan pada masa Hindu sebagai salah satu warisan pada masanya dan masih lestari hingga sekarang.
Zaman kerajaan Islam juga memunculkan banyak pesantren yang konsepnya hampir mirip dengan padepokan pada masa sebelumnya, dengan wali, kiai, dan ustadz, sebagai tokoh pendidikannya dan yang juga dikuatkan oleh karya-karyanya. Pesantren dapat dijumpai di berbagai wilayah Indonesia, akan tetapi dengan sebutan yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang sejarah lokal masing-masing daerah. Seperti di Sumatera Barat, pesantren disebut dengan “surau” sementara di Aceh disebut dengan “meunasah”dan “dayah”. Sebutan pesantren atau pondok pesantren pada mulanya hanya berlaku di Jawa, meskipun kini sudah dikenal umum. Intinya pesantren adalah tempat belajar bagi para santri. Pesantren juga disebut “pondok” atau “pondok pesantren”. Singkatnya, kedua sebutan tersebut mengandung arti lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat unsur-unsur “kiai” (pemilik sekaligus guru), “santri” (murid), “masjid” atau “mushalla” (tempat belajar), “asrama” (penginapan santri), dan kitab-kitab Islam (bahan pelajaran).
Selanjutnya “pesantren” lebih dikenal karena lembaga ini memiliki kemampuan bertahan dan mengembangkan diri lebih besar dibandingkan lembaga-lembaga serupa di tempat lain. Sampai sekarang model pendidikan pesantren masih bertahan di tengah-tengah modernisasi pendidikan yang telah ada. Pesantren memiliki kontribusi pada sistem pendidikan sekarang sebagai salah satu dari lembaga-lembaga pendidikan yang telah ada di Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, kini banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. Kemudian muncul istilah pesantren salafi (pesantren murni, hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja) dan pesantren modern (selain mengajarkan ilmu agama Islam juga mengajarkan ilmu umum dengan menggunakan kurikulum).

Kontribusi Sistem Pendidikan Pada Zaman Penjajah hingga Masa Pendudukan Jepang

Bangsa Barat masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke-16. Kedatangan Bangsa Barat ini, Portugis khususnya membawa misi agama. Untuk tujuan menyebarkan agama inilah kemudian mereka mendirikan sekolah. Mengajarkan rakyat pribumi untuk menjadi pekerja agama. Selain mengajarkan tentang agama, rakyat pribumi juga membaca, menulis, dan berhitung. Bangsa Belanda yang beragama Kristen Protestan sambil berdagang juga menyebarkan agamanya. Konteks penyebaran agama itu menjadi permulaan kebijakan pendidikan kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda baik sebelum maupun sesudah Politik Etis terdapat beberapa tingkatan dan jenis pendidikan, antara lain: 1) pendidikan rendah (lagere onderwijs); 2) pendidikan menengah (middlebaar onderwijs) seperti MULO dan AMS; 3) pendidikan tinggi seperti Sekolah Dokter Jawa (STOVIA), Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS), Sekolah Tinggi Hukum (RHS), dan Sekolah Tinggi Teknik (THS); 4) sekolah-sekolah kejuruan; dan 5) sekolah guru. Meskipun dengan adanya Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda sudah mulai memperbaiki pendidikan bagi rakyat bumiputra, akan tetapi kebijakan pendidikan tersebut masih bersifat diskriminatif.
Pada masa penjajah baik pada masa Portugis hingga Belanda, para penjajah tersebut memperkenalkan sistem pendidikan yang berbeda dari yang sebelumnya. Terutama pada masa kolonial Belanda yang mencolok yaitu tingkatan dan jenis pendidikannya yang hingga sekarang diadopsi sebagai lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, meskipun pendidikan pada masa tersebut lebih berorientasi kepada perang pasifik, akan tetapi dualisme dalam pendidikan dihapuskan. Pada masa kolonial Belanda sebelumnya dikenal dualisme dalam pendidikan yang artiannya menekankan perbedaan yang tajam anatara pendidikan Belanda dan pendidikan Pribumi. Meskipun pendidikan pada masa pendudukan Jepang sangat memprihatinkan, akan tetapi Bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa resmi dalam pendidikan tersebut.
Selain tingkatan dan jenis pendidikan yang diadopsi baik secara kultural dan akibat dari penjajahan, terdapat pula keberadaan Departemen Agama. Dimana keberadaannya dapat dilihat sebagai kelanjutan dan perubahan dari kontruksi kolonial tentang urusan keagamaan yang diletakkan dalam konteks negara.

Ditinjau dari sejarah pendidikan di Indonesia dari masa klasik hingga masa penjajahan, maka Indonesia memiliki beragam lembaga pendidikan baik secara kultural dan hasil adopsi pada masa penjajahan. Sehingga Indonesia memiliki kekhasan tersendiri dengan kuatnya lembaga pendidikan keagamaan. Sehingga di Indonesia terdapat dua buah mainstream sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan umum yang dipayungi oleh Departemen Pendidikan Nasional dan sistem pendidikan keagamaan yang dipayungi oleh Departemen Agama. Keduanya sama-sama mengelola dan memayungi mulai dari tingkatan dasar sampai dengan perguruan tinggi.

Sumber:
Agung, Leo & T. Suparman. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Anonim. 2013. Pesantren. Diakses pada 7 April 2013 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren.
Rifa’i, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Subhan, Arief. 2012. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20, Pergumulan Antara Modernisasi dan Identitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Droup.



Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur tertanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan hari-hari nasional bersejarah bagi bangsa Indonesia. Salah satunya ialah dengan ditetapkannya Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei. Meskipun ditetapkan pada tahun 1959, secara efektif peringatan hari pendidikan nasional baru dilaksanakan tahun 1967 setelah Pak Harto menjabat presiden. Saat itulah pengakuan atas jasa besar Ki Hadjar Dewantara dalam meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional dinyatakan oleh Pak Harto.
Meskipun dalam keputusan presiden tersebut tidak secara tegas menyebutkan dasar-dasar penetepannya, akan tetapi secara tersirat yang dimaksud dengan tanggal 2 Mei ialah hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara. Dapat dipastikan bahwa ada suatu alasan mengapa tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Alasan tersebut tentu berkaitan dengan jasa-jasa Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Suwardi Suryaningrat), sejak 1922 berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Pergantian nama ini adalah peralihan atau penyempurnaan watak dari satria pinandhita atau kesatria yang berjiwa pendeta ke pandhita sinatria atau pendeta yang bersedia mengangkat senjata untuk membela rakyatnya. Dengan demikian, ditinggalkannya pula gelar kebangsawanannya, yang dirasa akan menjadi penghalang untuk berdekatan dengan “wong cilik”. 
Beliau lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959. Kancah perjuangan Ki Hadjar Dewantara meliputi dunia politik, jurnalistik, dan pendidikan. Pada dunia politik dan jurnalistik, Beliau lebih dikenal sebagai R.M. Suwardi Suryaningrat.
Pada tanggal 25 Desember 1912, berdirilah Indische Partij sebagai organisasi pendukung gagasan revolusioner nasional. “Partai Hindia” ini didirikan oleh Douwes Dekker (Danudirdjo Setyabudhi) serta diperlengkap dengan bergabungnya dua orang Jawa yaitu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan R. M. Suwardi Suryaningrat, atau yang lebih dikenal sebagai Tiga Serangkai.
Salah satu tulisan R.M. Suwardi Suryaningrat yang paling terkenal yang dimuat dalam surat kabar De Express dibawah pimpinan DD, 13 Juli 1913. Tulisannya yang berupa risalah yang berjudul "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"),yang isinya merupakan sindiran tajam atas ketidak-adilan di daerah jajahan.  Karena keanggotaannya dalam Indische Partij  dan aktivitasnya yang menetang usaha-usaha perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas jajahan Perancis dengan tulisannya tersebut, maka ia diasingkan ke negeri Belanda bersama Dr. Tjipto Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker (Danudirdjo Setyabudhi) pada tahun 1913.
Dalam pengasingan pada tahun 1913-1919 tersebut, Beliau aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia yaitu Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di sinilah Beliau merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi. Dalam studinya ini, Beliau terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori. Beliau juga mengadakan orientasi tentang Santi Ni Setan  ciptaan Tagore di India sebagai pergerakan pendidikan India. Pengaruh-pengaruh tersebut juga mendasari Beliau dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Sepulang dari pengangsingan, Beliau bergabung dengan suatu kelompok mistik Jawa di Yogyakarta yaitu “Gerombolan Selasa Kliwon”. Gerombolan itu terdiri dari R.M. Suwardi Suryaningrat,, R.M. Sutatmo Surjokusumo, R.M.H. Soorjo Poetro dan Ki Pronowidigdo, yang dibawah pimpinan Pangeran Surjomataram mempelajari soal-soal kebatinan. Kelompok mistik ini menganggap perlu diciptakannya suau sistem pendidikan yang benar-benar bersifat pribumi (yakni yang nonpemerintah dan non-Islam). Oleh karena itu, pada tahun 1922, Suwardi, yang kini memakai nama baru Ki Hadjar Dewantara, mendirikan sekolah Taman Siswa yang pertama di Yogyakarta, yang memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern dengan seni-seni Jawa tradisional. Setelah Taman Siswa berdiri, maka mereka membubarkan diri, karena berpendapat dengan lahirnya Taman Siswa itu terwujudlah sudah cita-cita mereka.

Bapak Pendidikan Nasional

Perjuangan Ki Hadjar Dewantara sebagai perintis pendidikan nasional diwujudkan dalam bentuk pendirian Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Mewujudkan sebuah lembaga nasional pada saat masih dalam cengkraman kekuasaan kolonial bukan saja tindakan sangat berani tetapi juga penuh resiko.
Memang, sebelum Ki Hadjar Dewantara mendirikan Tamansiswa sudah ada usaha mencerdaskan anak-anak bangsa melalui pendidikan. Sebut saja RA Kartini, Wahidin Sudiro Husodo, Moch Syafei, KH Hasyim Ashari, KH Ahmad Dahlan, tokoh-tokoh pendidikan kristen, katolik dan pesantren adalah beberapa di antaranya. Tetapi yang menyebut nama dan dasar serta sistem nasional dan kemudian mewujudkan dan melaksanakan, belum ada.
Datanglah suatu masa kesadaran pendidikan nasional. Ketika kalangan menengah ke atas pribumi gagal menyekolahkan anak-anaknya karena Departemen Pengajaran (kolonial) tidak mampu menyediakan sekolah untuk mereka, maka didirikanlah sekolah swasta. Sekolah tersebut sistem dan isi pengajarannya tidak berbeda dengan sekolah pemerintah (kolonial). Tujuannya tiada lain agar anak-anak mereka fasih berbahasa Belanda untuk mendapatkan jabatan dan gaji yang baik di kemudian hari. Saat itu tidaklah terpikirkan meningkatkan kebudayaandan kepribadian bangsa sendiri. Itulah yang menjadi dasar pertimbangan utama Ki Hadjar Dewantara untuk mewujudkan sebuah sistem pendidikan nasional yang tidak untuk kepentingan kolonialisme. Tujuan utamanya ialah menanamkan jiwa merdeka bagi anak-anak bangsa pribumi. Dengan tiada menolak apa yang asing yang berguna untuk memperkaya jiwa bangsanya, ditumpukan pendidikan pada usaha membangun jati diri bangsa.
Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, Beliau pun dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia[ dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Jadi, apakah sudah tepat Hardiknas diperingati pada tanggal 2 Mei? Saya rasa tepat, jika mengingat seberapa besar kontribusi Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan nasional di Indonesia.

Sumber:

Agung, Leo & T. Suparman. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Anonim. 2013. Ki Hadjar Dewantara. Diakses pada 3 April 2013 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara.
Anonim. 2012. Pahlawan. Diakses pada 6 April 2013 dari http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=Pahlawan&opsi=mulai-1.
Ki Sugeng Subagya.Pa Harto dan Hari Pendidikan Nasional. Germari, No. 90/IX/2008.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 1993.  Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C.. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.





 

Copyright © PENDIDIKAN + SEJARAH = AKU. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online